CORECT – IJJSS 2019: Initial announcement

Climate change and sustainable development have become the world’s main focus in recent years. Many research has been carried out in various scale shows its significant threat of changing environments in many dimensions.  CORECT and CReSOS are two research groups which focussed on coastal and marine environmental dynamics related to climate change. CORECT ( Coastal Resilience and Climate Change Adaptation –Research Group) is a research group from Faculty of Fisheries and Marine Science, Universitas Brawijaya with research background on coastal ecology, marine chemistry and remote sensing applications for studying the dynamics of the coastal and marine environment. CreSOS (Center for Remote Sensing and Ocean Sciences), a research center from Udayana University, focusing on remote sensing applications to analyze the dynamics in the marine environment. The first collaboration between the research group implemented on The 1st CORECT Science Symposium, September 2018, located in Universitas Brawijaya, Malang. The symposium was attended by participants from universities in Indonesia, NTOU –Taiwan, Indonesia government agencies, USAID Program for Climate Change Adaptation (APIK) and East Java Ecotourism Forum (EJEF).

Indonesia Japan Joint Scientific Scientific Symposium (IJJSS) 2019 is the 9th Symposium to be held by Faculty of Marine Science and Fisheries, Universitas Udayana supported by CReSOS. IJJSS is one of the implementations of collaboration between Chiba University and sister Indonesian universities since 2004. The main purpose of this symposium is to provide a meeting that will enforce progress, stimulate growth and advance the state of knowledge between students and researchers from Indonesia and Japan, as well as those from countries around the world.  Before the 9th edition of IJJSS in 2019, the previous IJJSS was held as follows:

Year IJJSS Host Venue
2004 1 Chiba University Chiba
2006 2 UI Jakarta
2008 3 Chiba University Chiba
2010 4 UI Bali
2012 5 Chiba University Chiba
2014 6 UGM Yogyakarta
2016 7 Chiba University Chiba
2018 8 UI Jakarta

The Institute of Electronics, Information and Communication Engineers (IEICE) is a Japanese institute specializing in the areas of electronics, information and communication engineering, and associated fields. Established in 1917, currently, IEICE has the Engineering Sciences Society, NOLTA Society, Communications Society, Electronics Society, Information and Systems Society, and the Human Communication Group. Eighty-four technical committee conferences in relevant fields are held, with each being organized autonomously. This year, The Seminar On Microwave Remote Sensing (SOMIRES) becomes an annual IEICE activity.

In 2019, these three institutions collaborated to hold an International conference entitled International Conference on Sustainability Science and Managementwhich will be held on 14-15 November 2019 in Denpasar, Bali, Indonesia.

This international conference is expected to present interesting discussions through the presentation of research results, related to Marine Science and Fisheries, Engineering and IT, Environmental Science, and Social Science.

Peneliti CORECT Hadiri APCRS 2018 di Cebu, Filipina

APCRS merupakan symposium yang dilaksanakan 4 tahun sekali dimana pada kegiatan tersebut berkumpul para scientist, dosen, pengambil kebijakan, pemeharti lingkungan dan para stake holder dari Asia dan Pasifik membicarakan dan sharing ilmu pengetahuan dari semua aspek atau sisi, biologi, ekologi, manajemen dan konservasi. Acara the 4th Asia-Pacific Coral Reef Symposium tahun 2018 dilaksanakan pada 4-8 Juni 2018 di Cebu Filipina. Lebih dari 620 peserta dari 35 negara berpartisipasi dalam kegiatan ini dan memecahkan rekor jumlah peserta terbanyak dibandingkan pada kegiatan APCRS sebelumnya yang telah digelar di Hongkong (2006), Thailand (2010), dan Taiwan (2014).

Tema the 4th APCRS 2018 ini adalah Coral Reefs of the Asia-Pacific: Working Together Amidst Contemporary Challenges, yang memiliki makna kurang lebih adalah meningkatkan kerjasama ditengah-tengah tantangan terkini dimana titik tekan dari tema ini adalah menyoroti keterlibatan berbagai lembaga – ilmuwan, pembuat kebijakan, pengelola terumbu karang, dan nelayan serta rakyat dalam melindungi dan melestarikan ekosistem terumbu karang di dunia. Kumpulan pemikiran hasil penelitian diharapkan dapat menjembatani dan menjadi bagian solusi berbagai masalah yang dihadapi terumbu karang di kawasan Asia Pasifik serta menjadi titik masuk bagi para pengambil kebijakan untuk selalu bersinergi didalamnya.

Pada symposium ini delegasi dari FPIK UB, Oktiyas Muzaky Luthfi, ST., M.Sc berkesempatan melakukan oral presentasi pada kelas Manila B dengan topik Using colony life-form to predict the health condition of Tubipora musica (Stolonifera). Pakar terumbu karang pada Kelompok Peneliti CORECT tersebut memberikan presentasi yang merupakan hasil penelitian dari Pulau Lirang Maluku Barat Daya, Indonesia. Subyek penelitian adalah T. musica dimana dipercaya dari turun temurun dapat digunakan sebagai obat seperti contoh di KwaZulu-Natal, South Africa, sebanyak 25 g kerangka T. musica dimasukkan kedalam campuran obat tradisional. Di negara-negara arab, T. musica digunakan sebagai campuran obat sakit perut, penguat jantung, penyakit mata dan untuk menghentikan pendaharahan, dan pengobatan ini telah digunakan sejak abad 10th.  Di Jawa T. musica digunakan juga untuk campuran jamu godogan dan dapat ditemukan pada penjual jamu tradisional. T. musica juga banyak digunakan untuk decorative dan kebutuhan aquarium sejak tahun 1950-an sekarang dan pada tahun 2001, 2006, 2007 dan 2008 tercatat terjadi kenaikan perdagangan T. musica hidup dengan kira-kira sebanyak 2000 pieces karang that was a remote area. Dari penelitian didapatkan 2 kategori bentuk pertumbuhan karang ini yaitu massive (OM) dan thick encrusting (OTE). Bentuk pertumbuhan T. musica di wilayah penelitian adalah OM (328 koloni) dan OTE (51 koloni). Dan total T. musica yang sehat (H) adalah 87.33%, sakit ringan (B1) 2.63%, sakit parah (B2) 6.33% dan mati (D) 3.69%.

 

 

Pentingnya Kualitas Data untuk Pengambilan Kebijakan Konservasi Kelautan

Tema di atas merupakan bahasan utama yang disampaikan oleh Derta Prabuning, Direktur Reefcheck Indonesia yang hadir pada sesi Kuliah Tamu CORECT, hari Jumat 27 Juli 2018, bertempat di Gedung C FPIK UB. Sebagaimana disampaikan oleh Derta, tantangan utama yang dimiliki oleh aktivitas konservasi kelautan di Indonesia saat ini adalah kuantitas dan kualitas data ilmiah. Sulit ditemukan data dasar yang memiliki cakupan temporal yang baik, sehingga dapat dijadikan pijakan kuat dalam perumusan satu policy dibidang konservasi sumberdaya kelautan.

Untuk mengantisipasi hal tersebut, Reefcheck Indonesia menggunakan pendekatan kolaboratif untuk mengumpulkan data. Contoh kasus pada kegiatan monitoring manta di TNL Komodo, Reefcheck berkolaborasi dengan para guide di dive center setempat untuk memonitor kemunculan sekaligus mendokumentasikan manta yang dijumpai pada area penyelaman. Kegiatan tersebut terbukti cukup efektif, ditunjukkan dengan jumlah log data yang masuk sebesar 1500 data pada kurun waktu kurang dari satu tahun. Hal tersebut tentunya jauh lebih tinggi apabila dibandingkan dengan suplai data yang diberikan oleh kegiatan riset pada umumnya. Selain kolaborasi sumberdaya, kemajuan teknologi memungkinkan introduksi alat-alat baru dalam kegiatan monitoring, seperti penggunaan drone untuk monitoring kemunculan lumba-lumba, ataupun penggunaan CSRT (Citra Satelit Resolusi Tinggi) untuk monitoring kawasan pesisir dan HDPD (Habitat Dasar Perairan Dangkal). Pendekatan yang cukup menarik tersebut tentunya dapat ditindaklanjuti untuk kegiatan konservasi yang dilaksanakan di cakupan area CORECT khususnya pesisir selatan Jawa Timur.